Kelenturan Dalam Perkawinan: Seni Mengelola Konflik Keluarga

John, seorang pria yang telah menikah tiga tahun mengalami depresi yang berat. Ia merasa istrinya tidak lagi menghargai dirinya sebagai suami. Istrinya tidak tunduk pada keinginannya dalam segala hal.

Beberapa keluhan sang suami antara lain: Istrinya tidak bisa menabung, tidak taat sembahyang, terlalu memberi perhatian pada keluarga sendiri, tidak pandai merawat anak. Istrinya mau menguasai, tidak melayani kebutuhan fisik suami, memaksa suami mengurus anak. Suami dicurigai main serong dengan pembantu, dan sebagainya.

Sementara itu Mary istrinya, juga depresi sebab suaminya jarang di rumah. Suami sering mempersalahkan dia. Situasi rumah tangga seperti itu akhirnya membuat istrinya tidak tahan, lalu mengusir suaminya secara halus. Pria itupun tidak tahan lalu pergi meninggalkan istri dan merasa tidak akan kembali lagi.

Keluarga ini tinggal di pinggiran atau agak jauh dari pusat kota Jakarta. Suami merasa penghasilannya cukup baik, sebab ia berharap dapat ditabung oleh istri. Suami bekerja jauh dari rumah, sehingga 2 dari 3 minggu (dua pertiga waktunya) berada di luar rumah. Dengan kata lain suami jarang berada di rumah.



Istri sangat dekat dengan keluarganya sendiri. Ia memberi bantuan bulanan sebesar satu juta rupiah pada keluarganya. Keluarga ini dibantu oleh dua orang pembantu rumah tangga. Mereka memiliki seorang anak yang masih bayi, dan istri sedang dalam keadaan mengandung anak kedua. Mereka menikah hampir 3 tahun.

Isu Konflik Pasutri

Konflik  tidak harus dihindari dalam sebuah perkawinan. Konflik itu perlu dan asyik, bahkan dapat membuat pernikahan lebih dinamis, asal tahu mengelolanya dengan baik. Jika masalah tidak ditangani dengan baik, itu dapat membuat perkawinan itu sakit. Sebaliknya jika bisa dikelola, maka perkawinan akan bertumbuh dinamis dan sehat.

Isu konflik pasutri di ruang konseling paling banyak ada di seputar persoalan: uang, komunikasi, seks, pekerjaan, anak-anak, keluarga asal, teman, dan karir. Perbedaan persepsi, skill dan kebiasaan dalam konteks isu itu bisa menjadi pemicu konflik. Karena itu salah satu sifat yang diperlukan untuk mengelola perbedaan itu adalah kelenturan.

Kelenturan dan Harga Diri

Kelenturan adalah sifat pribadi suami atau istri yang rela beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan sifat pasangan atau situasi yang tidak Anda harapkan terjadi. Kelenturan adalah salah satu wujud dari empati.

Salah satu ciri lentur adalah mudah memahami pasangan dan tidak ngotot mengubah pasangan. Sebaliknya, Anda sendiri rela berubah saat pasangan tidak berubah. Caranya dengan menerima pasangan yang tidak berubah. Ada beberapa sifat dasar pasangan yang sulit berubah. Misalnya, pasangan Anda seorang introvert,  tidak banyak bicara. Maka belajarlah menerima sifat itu, sambil menjadikan diri Anda menjadi pribadi yang enak diajak bicara oleh pasangan.

Ciri lainnya, seorang yang lentur bersifat pemaaf. Dia tidak mudah tersinggung, dan kalaupun menjadi marah tidak suka menyimpan kesalahan pasangan. Ia lebih suka membicarakannya. Ini adalah salah satu sifat utama kasih.

Masalahnya, tidak semua orang memiliki sifat ini, sebab kelenturan berkait erat dengan harga diri. Orang yang mudah menyesuaikan diri (fleksibel) biasanya juga memiliki harga diri (self-esteem) yang baik. Orang yang minder, sulit membicarakan kelemahannya dengan pasangannya. Misalnya meski dia sedang marah pada pasangannya, dia lebih suka menyimpan, menekan atau menyangkali hal itu. Dia kuatir, jangan-jangan jika dibicarakan akan membuat suami atau istrinya menjadi lebih marah.

Kelenturan juga didukung oleh seberapa jauh suami mengenali pasangan dan sebaliknya. Makin Anda mengenal pasangan Anda dengan baik, maka ada pengertian yang mendalam terhadap dia, terutama saat konflik dan perbedaan pendapat terjadi.

Karena itu salah satu kunci mengelola konflik adalah mengenali pasangan dengan baik. Anda memahami latar belakang, kebiasaan, sifat, hobi, cara berpikir hingga pohon keluarga asalnya. Selain mengenal, Anda juga menerima pasangan "apa adanya" bukan "ada apanya".

Sumber Pertengkaran

Pasangan yang terus menerus cenderung konflik biasanya, dilatarbelakangi karena salah satu atau keduanya tumbuh dalam ketidakbahagiaan. Besar tanpa kasih sayang. Karena itu ada kecenderungan berjuang mengubah perilaku pasangannya. Dia selalu merasa tidak puas, dan selalu merasa ada saja yang kurang. Selain itu saat memasuki perkawinan mereka tidak siap untuk menghadapi kemungkinan situasi terburuk.

Kondisi lain yang memperburuk hubungan pasangan adalah salah satu atau keduanya miskin figur Orang tua. Misal jika Istri kekurangan figur ayah berharap dengan perkawinannya dia berharap suaminya dapat menggantikan ketidakhadiran ayahnya. Jika hal ini masih belum dibereskan saat masuk ke pernikahan, akan muncul cinta neurosis. Nampaknya dia cinta pada suami, tetapi sesungguhnya dia mencintai untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin, yaitu pengganti figur ayah.

Ada beberapa sumber pertengkaran suami-istri:

Pertama, karena salah satu pihak mengalami tekanan. Akibatnya pasangannya sulit berkomunikasi. Kalaupun ada percakapan, lebih banyak  dalam suasana menghukum atau mencari-cari kelemahan pasangan. Agar ini bisa diketahui lebih awal, sebelum menikah sebaiknya stres dan trauma masa lalu dibicarakan lebih dulu.

Kedua, suami atau istri cenderung bersikap reaktif. Respon disampaikan sesuai dengan stimulus. Kalau pasangannya melukai,  dia cenderung membalas. Caranya, bisa dengan menghukum pasangan dengan marah, atau menahan kebaikan. Enggan melayani atau berbuat baik. Tak jarang dengan cara menyerang saat pembicaraan baru saja dimulai. Sebagian dengan cara mendiamkan pasangan seharian, bahkan berhari-hari.

Ketiga, akibat masa kecil yang kurang kasih sayang. Mereka cenderung mengendalikan perilaku pasangannya. Caranya adalah melalui tindakan komunikasi negatif: misalnya bersikap kasar, suka mengejek dan merendahkan. Ini persis seperti yang dia terima dari orang tuanya saat masih kecil.

Keempat, karena terjadinya koalisi antara anak dan ibu. Mereka ngeklik satu sama lain dengan tujuan menyerang atau merugikan Sang Ayah/suami. Pola balas dendam yang digunakan adalah dengan cara licik, yakni kongkalikong (tersembunyi) menyerang "musuh".

Kelima, bersumber pada sifat pribadi yang kaku dan cenderung keras kepala. Karena luka yang sudah terjadi dan kepercayaan yang turun maka si istri atau suami menolak secara apa pun yang diusulkan pasangannya. Penolakan ini menimbulkan luka dan kemarahan baru.

Keenam, kekecewaan yang tak terobati. Biasanya salah satu dari mereka jatuh dalam dosa selingkuh atau berhianat. Bisa juga dipicu karena pasangannya tidak tidak lagi bisa memuaskan kebutuhan seksual. Kekecewaan bertambah karena tadinya punya harapan perkawinannya akan membuat dia bahagia.

Ketujuh, karena salah satu pasangan menderita gangguan jiwa serius seperti depresi, mania, phobia, kecanduan narkoba dan lainnya. Gangguan semacam ini akan mendatangkan ketegangan besar pada hubungan perkawinan.

Meminimalkan Konflik

Ada beberapa sifat yang dibutuhkan untuk memiliki keluarga yang sehat dan kokoh. Diantaranya, memiliki komitmen, adanya kerelaan saling menghargai satu sama lain dan memiliki komunikasi yang baik. Disamping itu bersedia meluangkan waktu terbaik untuk pasangannya, memiliki kerohanian yang  bertumbuh dan punya skil  mengatasi permasalahan.

Disamping itu pasangan yang sehat memiliki kemampuan sharing kekuasaan. Tidak memonopoli tanggungjawab dan juga tidak memiliki  tujuan-tujuan tersembunyi. Misalnya mencari keuntungan pribadi dari perkawinan itu. Pasangan juga memiliki Kemampuan membagikan perasaan-perasaan positif (memuji dan menghargai), dan terbuka dengan perasaan negatif.

Untuk meminimalkan konflik pasutri ada beberapa skill dasar yang dibutuhkan.

Pertama, belajar menunjukkan penghargaan satu sama lain. Terutama saat sedang ada perbedaan pendapat.  Keduanya sepakat tetap saling menghargai. Mengembangkan sifat empati, dimana masing-masing dapat  memahami pasangan dari sudut pandang pasangan.

Kedua, Sepakat menetapkan isu konflik. Konflik yang sehat pakai tema atau judul. Pasutri mengidentifikasi masalah (konflik) yang sesungguhnya. Jika tidak, konflik bisa melebar. Bisa juga tergoda untuk menyinggung isu lain saat merasa tersudut. Termasuk konflik yang sudah lama terjadi. Paling menyakitkan jika menyerang orang yang kita kasihi. Misalnya, isunya istri membeli barang yang mahal tapi lupa bilang suami. Sang suami tidak boleh menyerang istri dengan mengatakan, “Kamu sama  saja dengan  ibumu, boros!" Itu sudah keluar dari isu konflik sesungguhnya.

Ketiga, menemukan wilayah kesepakatan. Jika isu konflik sudah ditemukan, maka bentuklah kesepakatan untuk memecahkan konflik tersebut. Masing-masing rela untuk saling menyesuaikan. Misalnya, suami mau memberi uang saku anak setiap hari Rp 20.000. Tetapi istri mengatakan, cukup Rp 10.000 saja. Supaya ada jalan tengah, maka ayah dan ibu mencoba mengalah dengan sepakat memberi uang jajan anak Rp. 15.000 sehari. Intinya  jangan merasa  pendapat pribadi yang paling benar.

Keempat, Berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan. Jika suami dan istri ikut memberi respon atau saran saat keputusan diambil, keduanya bertanggung jawab penuh atas akibat dari keputusan itu. Hal ini perlu disepakati untuk mencegah salah satu dari suami atau istri menyalahkan pasangan jika keputusan tadi ternyata bermasalah. Jadi kalau pasangan Anda mengatakan "terserah" saat mengambil keputusan,  jangan tergesa-gesa memutuskannya. Sabarlah! Jika Anda suami, berilah istri anda kesempatan memberi ide atau saran. Jika Anda istri, berilah kesempatan bagi suami memutuskan. Ada kalanya suami dan istri memutuskan bersama-sama.

Mengubah Sikap Cara Pandang

Untuk mengelola pelbagai perbedaan dan berpotensi menimbulkan konflik maka pasangan perlu belajar menyamakan persepsi dan nilai. Cara pandang terhadap sesuatu hal. Apakah itu memandang iman atau keyakinan, soal benar-salah. Juga memandang uang atau harta. Memahami soal dosa dan kesalahan pasangan.

Pertama, masing-masing perlu menyadari bahwa Kebenaran manusia itu relatif, bukan absolut. Hanya kebenaran Tuhan yang absolut. Masing-masing yakin bahwa manusia itu terbatas, dan tidak mungkin pernah memiliki kebenaran yang tak terbantah. artinya tidak boleh merasa benar sendiri. Prinsip ini akan mendorong pasangan rela saling diskusi jika ada perbedaan pendapat tentang satu isu.

Kedua, pasutri  ini perlu menyadari bahwa cara memandang satu peristiwa bisa dengan sudut pandang yang berbeda. Karenanya perlu memiliki dan menumbuhkan empati, dan diawali dengan belajar saling mendengarkan.

Ketiga, membuang sifat yang suka menghakimi, menyalahkan dan menyerang motif pasangan. Masing-masing perlu menumbuhkan keyakinan bahwa  pasangannya mempunyai motivasi yang sehat dan patut dihargai. Menumbuhkan kesadaran diri dipanggil sebagai pelindung dan pembela pasangan.

Keempat, pasutri mengembangkan kecerdasan sosial masing-masing. Membuang sifat cemburu pada pasangan yang  memiliki relasi dan jaringan yang luas. Tidak menghalangi pasangannya memiliki kelompok sosial sendiri. Individu diberi ruang memiliki komunitasnya tanpa mengabaikan keluarganya sebagai prioritas.

Terakhir, mengembangkan persekutuan iman dan kehidupan doa yang baik (spiritual-intimacy). Sebab ada banyak hal keterlibatan Tuhan menjadi penting, terutama saat memutuskan hal yang penting bagi anggota keluarga. Iman, kasih dan pengharapan menjadi penopang perkawinan yang kuat.

Bahan Diskusi

  • Berapa lama Anda pacaran dan seberapa Anda memahami pasangan dengan baik? Jelaskan.
  • Apakah Anda mudah meminta maaf saat bersalah, dan bagaimana pula dengan pasangan Anda? Jelaskan.
  • Apakah Anda mudah bernegosiasi dengan pasangan saat terjadi perbedaan pendapat? Jelaskan.